Minggu, 20 Mei 2012

Nammo Buddhaya,
Mohon dimaafkan tentang penulisan nama Sangha. Yang saya maksud adalah  Sangha Theravada Indonesia
Dengan demikian kesalahan telah dimintakan maaf dan dibetulkan. Semata-mata karena kurang teliti dan kurang berfungsinya pengelihatan saya. 
Sadhu... Sadhu... Sadhu

Sabtu, 19 Mei 2012

Waisak 2012 : Paradoks Ajaran Buddha

 
Detik-detik Waisak 06 Mei 2012 pukul 10.34.49 WIB adalah peringatan yang sama yakni memperingati tiga peristiwa yang terjadi pada saat purnamasidi di bulan Waisak. Peristiwa suci kelahiran Pangeran Sidharta (Siddhattha:bahasa Palli) Gotama pada tahun 623 SM. di Taman Lumbini, India Utara; peristiwa suci pencerahan ke-Buddha-an Pertapa Sidarta Gotama pada tahun 588 SM di Bodhigaya; dan peristiwa suci Budha Gotama mangkat (parinibanna:bhs Pali) pada tahun 543 SM di Kusinara.
Hari Waisak menjadi kesempatan bagi semua elemen umat Buddha untuk merenungkan kembali situasi keberagamaan umat, dengan menerapkan, dan menghayati  kebenaran ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Walubi mengangkat tema Waisak 2012/2556 Nasional adalah Meningkatkan Cinta Kasih dan Welas Asih  sub tema : Pencerahan Menuju Manusia Arif dan Bijaksana, sedangkan Sangha Theravada mengusung tema : Kebijaksanaan Tonggak Kejujuran
Jauh setelah kehidupan Buddha Gotama seorang Senator Cicero (106-43 SM) lahir merupakan orator ulung, ahli hukum dan filsuf. Di dalam buku de Orator, Cicero menulis Historia vero testis temporum, lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntia vetustatis ( sejarah adalah saksi zaman, sinar kebenaran, kenangan hidup, guru kehidupan dan pesan dari masa silam).  Masih sangat relevan untuk mengingatkan kehidupan beragama khususnya umat Buddha.
Nah, menyimak tema dan pesan, Waisak 2012 dicita-citakan menjadi momentum penyingkapan kebenaran, the moment of the truth tentang perilaku umat Budha.
Bagaimana umat Buddha dengan menjalankan proses keagamaan yang berhubungan secara langsung dengan realitas sosial-kemanusiaan masih menyisakan berjuta persoalan potret buram pada sisi kemanusiaan?
Banyak bukti empiris yang menggelisahkan keberadaan umat Buddha di tengah-tengah maraknya masalah tentang ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, marginalisasi, setidaknya hal ini perlu diperhatikan secara serius oleh pemuka agama Buddha dan para umat yang selama ini mengaku bahwa dirinya adalah mahluk yang beragama.
Lalu, dimanakah kehadiran agama Buddha ditengah kompleksnya persoalan ini semua? Apakah agama Buddha akan selalu ditempatkan terus di atas langit yang berada jauh dengan eksistensi kehadiran umat manusia di saat manusia telah dilanda oleh keterpurukan sosial? Atau agama Buddha hanya sebatas dikantongi untuk kepentingan pribadi sebagai upaya meraih kenikmatan surgawi secara individual?


Historia lux veritatis : sejarah adalah sinar kebenaran
Tidak terpungkiri bahwa peringatan sejarah tiga peristiwa suci Sidharta Gotama  merupakan penyelaman hidup bahagia terhadap berbagai realitas ketertindasan spiritual manusia dengan nuansa yang khas ajaran Buddha. 
Secara pembacaan historis, Waisak adalah suatu bentuk spirit yang membawa manusia pada ruang pembebasan.  Dilihat dari aspek spiritual paling fundamental Waisak merupakan upaya untuk membebaskan umat manusia dari ketergantungan diri pada pandangan-pandangan hidup palsu.
Ketergantungan palsu direntas-tiadakan dengan salah satu ajaran Buddha ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga). Kebergantungan palsu adalah suatu usaha sikap manusia yang selalu menghambakan dirinya pada hal lain, seperti ketergantungan manusia kepada suatu kekuatan sosial-politik, ideologi, dan bentuk materi-materi kebendaan lainnya.
Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga) berikut 3 pengelompokan Dimensi I : Kebijaksanaan  terdiri dari  1. Pengertian Benar; 2. Pikiran Benar ; dimensi II : Kemoralan terdiri dari  3. Ucapan Benar ;  4. Perbuatan Benar ;  5. Pencaharian Benar. ; Dimensi III :  Konsentrasi terdiri dari  : 6. Daya-upaya Benar; 7. Perhatian Benar ; 8. Konsentrasi Benar.
Kegaduhan kemanusiaan umat Buddha khususnya dan manusia Indonesia saat ini terjadi akibat sinar kebenaran Sidharta Gotama tidak terreflesikkan secara utuh membumi. Seharusnya dengan bermodalkan filosofi religious Sidharta Gotama, umat Buddha bisa menjadi agen pembaharu intelektual hebat berakal suci di Nusantara tercinta.  Namun sepertinya tidak muncul suatu gerakan intelektual di kalangan pemuka umat dan kaum muda Buddha. 
Filsafat ajaran Buddha adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain memahami pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Gagasan dasar intelektual terletak pada kesejajaran kebenaran ajaran Sidharta Gotama, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan.
 Dari sini diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Buddha, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih.
Penyebab dari kemunduran kepedulian masyarakat Buddha saat ini adalah karena prasyarat intelektualisme dalam tubuh masyarakat Budha telah ditindas karena alasan agama yang difahami secara sempit dan salah, sehingga mengebiri kebebasan berfikir yang menjadi pilar utama bagi intelektualisme.
Sampai saat ini, gerakan intelektualisme Buddhis berlatar sejarah masih sangat jauh sekali dari harapan. Upaya untuk membentuk suatu masyarakat intelektual sering sekali menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi kalangan pemikir keagamaan yang konservatif-fundamentalisme. Sering sekali fenomena penyingkiran terhadap kalangan kaum muda yang memiliki pemikiran progresif-liberatif dikucilkan/disingkirkan melalui justifikasi klaim kebenaran yang bersifat teologis, statement seperti telah menyimpang dari ajaran Buddhis.  .
Lebih parahnya, tindakan untuk melakukan justifikasi klaim kebenaran itu berujung pada ketidakharmonisan antara kelompok. Dampak yang mengemuka umat Buddha terkolonisasi dalam pandangan konservatif-fundamentalis pemimpin umat. Sehingga, fenomena tersebut melalui kerangka berfikir etika welas asih, Jalan Mulia Berunsur Delapan,  sama sekali tidak mencerminkan sebagai citra yang baik pula bagi umat Buddha dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dari sini terlihat bahwa agama Buddha seolah telah terpisah dengan kehadiran masyarakat, agama seolah tidak mampu menjawab persoalan yang menjadi kemelut dan krisis pada nilai-nilai kemanusiaan, agama telah dihilangkan fungsinya sebagai pijakan sinar kebenaran seluruh alam semesta dan petunjuk bagi manusia
Walau saat ini telah muncul wejangan dan petuah agama yang suci dan luhur untuk membebaskan manusia dari penyakit bathin, alih-alih seperti itu hanya sebatas bersifat simbolik.
Dan pada proses selanjutnya, hal tersebut akan mengarah pada suatu sikap untuk melakukan justifikasi kebenaran yang menganggap pihak yang berbeda (othernees) dengan pemahamannya harus digeser jauh-jauh. Akibatnya, pada proses selanjutnya peran agama seakan sesuatu yang sangat kaku,  agama seakan sesuatu yang memiliki wujud yang massif, agama seakan-akan mengajarkan perbedaan harus disikapi dengan tegas, terstruktur dan lawan (walaupun sama-sama mengusung nama Sang Buddha Gotama), sehingga pada akhirnya agama telah menjadi dogma yang sangat ekslusif, tidak membuka dirinya untuk berkenalan dengan “yang lain” (the others).
Berangkat dari kegelisahan inilah maka, suatu upaya yang sangat berat sekali bagi mahluk yang menyatakan dirinya sebagai mahluk yang beragama untuk membaca kembali doktirn-doktrin keagamaan secara kritis pada sisi teologis semata dan berupaya untuk menempatkan kembali fungsi keagamaan yang lebih mengarah pada suatu bentuk transformasi sosial yang mengindahkan nilai-nilai kemanusiaannya. Sehingga dengan demikian, peran dan fungsi keagamaan yang diyakini selama ini dapat menghadirkan bentuk sebagai ruh progresif dan selalu mendorong manusia pada proses pendewasaanya tanpa harus meninggalkan konteks dan momentum setiap kehidupannya. Dalam ajaran Budha sinar Kebenaran itu ada.

Historia magistra vitae : guru kehidupan
Tematik Walubi pada hari Tri-suci Waisak 2556 adalah “Meningkatkan Cinta Kasih dan Welas Asih”  dan pesan Sangha Theravada yaitu “Kebijaksanaan Tonggak Kejujuran”.
Sang Buddha Gotama di khotbah terakhir di Hutan Sala, di dekat Kusinara perlu direnungkan sejenak. “Ajaranku yang terpenting adalah: Anda harus bisa menaklukkan diri sendiri. Jauhkan keserakahan dan nafsu keinginan. Berjalan di tempat yang benar menjalankan hidup suci. Dengan kejujuran dan kebenaran. Selalu mengingat: Kehidupan dan tubuh ini sangat singkat dan semtara. Bilamana dapat merenungkan sedemikan rupa Anda akan bisa menjauhkan keserakahan dan nafsu keinginan, dendam dan amarah. Anda bisa menjauhkan kejahatan.”
Ajaran Buddha adalah secara gamblang, konsepsi kejujuran dan kebenaran sebagai jalur pembebasan suatu spirit yang menjamin kebebasan manusia dan kemuliaan. Pandangan tersebut mendorong manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu dan kenistaan oleh manusia atas manusia berlandaskan welas asih serta cinta kasih . Ajaran Buddha telah membawa kesadaran manusia akan pentingnya nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan pembebasan.
Namun ada sesobek catatan di antara perjalanan meraih yang kekal dan memaknai kesementaraan tentang kejujuran, gengsi dan penjara jiwa.
Ditengah-tengah kehidupan dewasa ini, kejujuran merupakan sikap moral bagi tingkahlaku, tuturkata, bahkan pemikiran yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dasar setiap upaya menjadi pribadi yang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran, manusia tidak dapat berani menjadi diri sendiri, tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu berarti manusia belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus apabila dipadukan dengan sikap malu berbuat buruk dan takut akan akibat keburukan akan merupakan dasar pijakan bagi kemandirian moral dan keberanian moral. Tidak pernah ikut-ikutan begitu saja dalam pelbagai pendapat sebab ia memiliki pandangan benar sesuai Dhamma ajaran Buddha itulah kemandirian moral. Tekad untuk mengikuti pandangan benar sesuai Dhamma ajaran Buddha adalah keberanian moral. Keberanian moral membutuhkan sikap rela berkorban demi mempertahankan kebenaran sesuai Dhamma ajaran Buddha itu. Tentu pengorbanan demikian tidaklah sia-sia karena mempertahankan kebenaran sama halnya dengan menumbuhkan kemajuan dan kejayaan, bukan sebaliknya menimbulkan kemerosotan dan kehancuran”. (kutipan pesan Waisak 2012/2556, dari sangha Teravadha Indonesia, 6 Mei 2012)
Seorang Budhis yang jujur tidak lahir dengan sendirinya. Ke-jujur-an, sebagai sifat, maupun watak, terbentuk oleh sebuah proses belajar yang panjang, dan mungkin melelahkan. Jadi, jujur itu hasil ciptaan yang belum tentu sudah jadi. Tak ada kejujuran yang bersifat become dan mapan. Sifat, atau watak, itu masih terus-menerus dalam penciptaan. Dan mungkin dirawat terus-menerus agar bisa tetap konsisten.  Banyak orang berteriak membela agama, padahal tujuannya mencari kemakmuran duniawi. Ada lembaga yang mewakili kepentingan rohani, tetapi merusak rohani dan kebersamaan yang nyaman dan alami.

Dari hari ke hari kita hanya melihat para tokoh agama, elite sebuah yayasan agama bermain sandiwara yang buruk dan membosankan. Kita sibuk belajar berbohong, tidak jujur.  Kesepakatan itu berbunyi : “Kita mainkan peran keduniaan semaksimal mungkin agar kita tampak lebih bermartabat, baru kemudian bicara hak- hak nirwana kelangitan”

Tragis. Rasa galau yang menggila sungguh menghantui masa depan umat Buddha karena kejujuran kian tergerus dan bersalin dengan pemujaan terhadap kerakusan. Apabila hal ini trus terjadi, para pemuka Agama Buddha kian gagal membangun generasi yang jujur dan percaya diri.

Sang Buddha Gotama adalah seorang guru kehidupan, teladan prima, yang utuh dan sempurna.  Sementara hingga saat ini umat Buddha masih terkungkung oleh penyakit bathin yang akut luar biasa. 

Gengsi, perasaan bathin yang berelaborasi ketidak-kejujuran.  Meskipun gengsi itu tidak enak dimakan, sering  dalam  hidup ini  manusia mati-matian memburunya. Demi gengsi orang bersedia melakukan apa saja, berapa pun besar ongkos  dan  risikonya. Banyak  tindakan  melawan  hukum,  tata  susila  dan  moral, dilakukan demi mengejar gengsi.  Lain orang lain pula symbol kemasyarakatan yang dipandang bergengsi. Unsur jabatan dalam organisasi,  etnis,  kesukuan,  agama,  tingkat  pendidikan, jenis pekerjaan, jenis kelamin dan tingkat usia seseorang,  sering mewarnai perbedaan-perbedaan tadi. Menambah panjang lintasan balap gengsi umat Buddha yang masih terbelenggu penjara keinginan.

Di kalangan elite yayasan keagamaan, lain lagi ulah manusia untuk menunjukkan gengsi. Pernah seorang ketua yayasan keagamaan, memberi ceramah penggalangan dana di Jakarta, di depan umat Buddha. Dalam sepuluh dari tiga puluh menit ceramahnya ia sibuk bicara tentang dirinya, termasuk penyebutan bahwa ia murid dan telah mendapat restu “Begawan agama Buddha” yang terhormat dan beken di Indonesia.
Arti  simbolik  dari  "ceramah  sang ketua”  merupakan upaya memunculkan gengsi  untuk  menimbulkan  efek  "wah".  Melalui kemampuan verbal dan visualisasi yang canggih demi mere-vitalisasi sebuah bangunan tempat ibadat umat Buddha yang dia kelola. Memang banyak  orang  terkesima  mendengar murid sang Begawan itu bicara, mencari dana untuk merobak bangunan viharadengan mengantongi restu. Namun ada juga yang tampak gelisah.  Ada pula yang malah mengantuk. Ketika  ceramah  selesai,  orang  pun  menggerutu.  Katanya, ceramahnya tidak  bermutu.  Ada yang tidak  setuju.  Mana  bisa “seorang ketua yayasan yang andap asor, berprilaku santun, dan mempunyai restu dari Sangha (komunitas para guru agama Buddha) dikatakan tidak bermutu?

Seharusnya, umat pendengar musti sepakat dan sepaham dulu  dalam  dua  hal:  bahwa ke-begawan-an guru  belum  tentu  merembes  ke murid, dan bahwa posisi ketua yayasan keagamaan haruslah pertama-tama dilihat, sebagai sebuah simbol elite yayasan yang bergengsi sedang meminta sumbangan .  Pada  dasarnya,  kelewat  bangga terhadap gengsi.

Dalam pemahaman harfiah bangunan penjara  memang mengurung, membatasi gerak, dan juga melumpuhkan. Bayangkan, orang dikurung  terus dan tak pernah menghirup  kebebasan.  Sang penghuni penjara bisa dilumpuhkan secara fisik. Bisa juga secara psikologis.

Ada  jenis  penjara  lain.  Gengsi telah menjelma menjadi sebuah penjara bathin. Manusia tidak terkurung di dalam bangunan penjara tapi ia terpenjara. Dan  lebih celaka lagi,  banyak  umat beragama Buddha tak menyadari  bahwa  sebenarnya mereka terpenjara juga di dalam seluruh kebebasannya. Sebutan lain penjara jenis ini adalah captive mind: jiwa yang terpenjara (sekalipun secara fisik bebas melayang ke mana saja). Sifat destruktif penjara ini mungkin lebih membahayakan  dan  lebih  kejam  dibanding terpenjara secara fisik.

Kebodohan, yang membuat manusia menjadi  picik,  keras  kepala, merasa  benar  sendiri, dan segenap ketidakmampuan bersikap kritis, pada dasarnya adalah  potret sebuah keterpenjaraan jiwa.  Pikir punya pikir, di komunitas umat Buddha banyak ulah manusia yang mungkin bisa disebut sebagai gambaran keterpenjaraan jiwa itu. Nafsu "berkuasa" secara berlebihan (hasrat menjadi  sesuatu  dan  tak   memberi orang lain ruang diskusi) adalah juga  bentuk  jiwa  yang terpenjara.  Hal tersebut termanifestokan dalam tokoh pewayangan yakni Dasamuka.

Betapapun bahayanya terpenjara secara fisik, segala dampak negative dan aneka corak penderitaannya cukup dirasakan oleh yang bersangkutan. Tapi  keterpenjaraan jiwa, diam-diam rupanya merembet, merayap, dan menggerayangi serta mewabah seperti virus ke segenap pihak dalam keluarga, kolega juga konco-konconya.

Keterpenjaraan jiwa, serupa wabah yang berjangkit. Wabah itu bermasa inkubasi pendek, jangkauan dan daya  ledaknya luas.  Ancamannya:  gawat, tapi  tak selalu darurat.  Soalnya, manusia yang bersangkutan sering  tak  sadar.  Dan karena  itu  juga  tak  harus  merasa  malu.  Yang ada malah sejenis rasa bangga. 

Mengambil contoh keterpenjaraan jiwa : dengan alih-alih ingin memoderenkan bangunan Vihara di sebuah ibukota Propinsi, agar sesuai dengan perkembangan milineum, oknum tokoh yayasan bersatu padu menggilas, menggusur bahkan ingin memenjarakan penggiat agama Buddha yang telah senja dan renta.  Bahkan menyeret ke dalam ranah hukum fomil, bukan mengejawantahkan ajaran cinta kasih dan welas asih.  Mengedepankan bukti-bukti formal yuridis, mencampakan teladan kebijaksanaan sebagai tonggak kejujuran.  Berbekal sebuah propaganda restu (blessing) dari komunitas suci para Ariya Bikkhu, membolehkan “mengusir” keluarga pandita agama Buddha, lupa akan sejarah bahwa pandita yang akan diusir setidaknya pernah mengisi ruang spiritual dari sang tokoh.
Fenomena di atas tidak terlihat bahwa penganut ajaran Buddha dapat membawa pesan-pesan yang transformative, mengukuhkan kejujuran, kedamaian, keadilan, dan kemanusiaan. Karena itu, diperlukan gerakan repetitive pesan moral ajaran Buddha yang humanis, kritis, transformatif, dan menempatkannya pada ranah praksis.  Sehingga pemahaman keberagamaan menjalankan visi universal ajaran Buddha sebagai ajaran yang penuh welas asih dan cinta kasih tidak berada di suatu ruangan yang hampa tanpa greget, akan tetapi ajaran Buddha itu pada ranah praksis sehingga pesan wasisak : Kebijaksanaan tonggak kejujuran menjadi konkret.
Dokter medis, dokter jiwa, psikolog, pekerja sosial, kiai dan segenap ahli rohani, harus dikerahkan untuk menyembuhkan keterpenjaraan jiwa seperti itu.  Jika semua ahli itu masih belum menyembuhkan juga, mungkin tinggal  satu  yang bisa dijadikan tumpuan harapan: sejarah.  Artinya, biarkanlah sejarah yang sabar dan kalem itu dengan teliti mencatat,  merekam,  dan  mengumpulkan segenap fakta yang diperlukan. Historia magistra vitae : sejarah guru kehidupan dan benar adanya.
Kebijaksanaan ajaran Buddha merupakan tonggak bagi penegakan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari baik untuk memenuhi keperluan diri sendiri maupun keperluan orang lain atau masyarakat, demi cita-cita memperoleh anak keturunan, harta kekayaan, kuasa kedudukan, bahkan luhur kemuliaan. Kejujuran tingkahlaku, tuturkata, dan pemikiran  adalah cara yang benar untuk meraih cita-cita tersebut. Itulah hidup sesuai kebenaran untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan, dan kebebasan akhir Nibbana.(Sangha Teravadha dalam pesan waisak 2556/2012)
Selamat Hari Waisak 2556/2012, semoga berkah Waisak melimpah pada kita semua, Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi. Semoga semua mahkluk berbahagia Sabbe satta bhavantu sukhitata. Sadhu, sadhu, sadhu.
Disusun oleh
Rohaniawan Buddha ( 1964-hingga kini)
Jinakumara.Samanera@gmail.com